Thursday, September 12, 2013

Meraih Ridha Allah SWT

Meraih ridha Allah = Meraih Kebahagiaan

“Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207)

Setiap orang ingin merasa bahagia. Hanya saja tidak semua orang tahu bagaimana cara meraih kebahagiaan. Ada yang berfikir bahwa bahagia bisa dirasakan ketika seseorang memiliki banyak harta. Dengan harta yang melimpah, kekuasaan mudah didapat, segala kebutuhan jasmani dan rohani bisa terpenuhi. Kebahagiaan bisa dibeli, begitu kira-kira. Pola pikir semacam ini ada benarnya, tapi tidak tepat. Tidak perlu jauh-jauh untuk membuktikannya, lihat saja ke sekeliling kita, atau bacalah berita di berbagai media massa. Jika harta yang dijadikan tujuan untuk bisa merasa bahagia, maka hasilnya bisa dilihat: korupsi di mana-mana, pencurian, perampokan, dan penipuan selalu terjadi berulang-ulang.

Sebagian lain menyangka bahwa kebahagiaan itu hanyalah fatamorgana, khayalan, dan ilusi manusia semata. Kenyataan hidup yang mereka alami tidak pernah membuktikan adanya kebahagiaan yang bertahan lama. Semua serba sesaat dan sementara belaka. Dugaan yang seperti ini kemudian melahirkan manusia-manusia yang mengejar pemuasan hawa nafsu. Ketika nafsu itu terpenuhi mereka merasa puas dan bahagia, meski hanya sesaat. Hasilnya dapat kita lihat: perzinaan, penggunaan narkoba, mabuk-mabukan, dan penyimpangan moral lainnya merebak di mana-mana.

Di sinilah cahaya Islam dibutuhkan untuk menerangi hidup manusia agar benar-benar bisa hidup damai, tentram, dan penuh dengan kebahagiaan. Salah satu cara agar kita bisa merasakan kebahagiaan yang hakiki adalah dengan ridha Allah. Kalau Allah ridha, maka kehidupan kita seluruhnya tidak lain hanyalah kebahagiaan, baik itu duniawi dan ukhrawi. Jalan untuk mencapai ridha Allah adalah dengan cara membuat diri kita sendiri ridha dengan semua ketentuan Allah. Ini tidak mudah, oleh karena itu butuh usaha keras dan pengorbanan sebagaimana yang telah disebutkan dalam kutipan ayat di awal tulisan ini.

Keutamaan Ridha Allah

Kata ridha berasal dari bahasa Arab ra-dhi-ya yang berarti: rela, senang, suka, perkenan, menerima dengan sepenuh hati, dan menyetujui secara penuh. Secara istilah, ridha dapat diartikan sebagai sikap suka dan lapang dada terhadap sesuatu. Kata ini bisa dikaitkan dengan Allah dan manusia. Jika dikaitkan dengan Allah, maka ridha Allah merupakan bentuk dukungan, rahmat, dan keberkahan terhadap sesuatu. Kalau dikaitkan dengan manusia, ridha berarti menerima segala hal yang terjadi pada dirinya. Kata padanannya (sinonim) adalah ikhlas dan lapang dada. Ridha inilah yang menjadi kunci bagi kebahagiaan hakiki yang dapat kita rasakan di dunia dan akhirat.

Keutamaan dari keridhaan Allah ini disebut-sebut dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Di antaranya adalah menghasilkan keuntungan dua kali lipat (Al-Baqarah: 265), orang yang mengikuti keridhaan Allah tidak mendapat bencana, tapi malah mendapat nikmat serta karunia yang besar (Ali Imran: 174), pahala yang besar (An-Nisa: 114), ampunan dan pahala yang besar (Al-Fath: 29). Janji Allah berupa surga sebagai tempat kesudahan yang baik diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan ridhaNya. Bahkan bagi sebagian Muslim yang menempuh jalan penyucian diri (sufi), keutamaan-keutamaan dari keridhaan Allah bukanlah apa-apa dibanding dengan ridha Allah itu sendiri. Bagi para sufi, ridha Allah itulah yang dikejar dan mereka pun ridha atas apapun yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat atau cobaan.

 “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya”, kalimat ini terdapat di dalam surat Al-Maidah: 119, At-Taubah: 100, Al-Mujadalah: 22, dan Al-Bayyinah: 8. Dalam tafsir Muyassar, kalimat itu berarti: Allah menerima semua amal shaleh hamba-hambaNya, dan mereka pun ridha dengan segala karunia yang Allah berikan kepada mereka. Keterangan serupa dalam tafsir Sa’di menyebut bahwa Allah menerima segala amalan yang diridhaiNya. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa tingkatan ridha Allah itu lebih tinggi dari nikmat yang Dia anugerahkan kepada hambaNya. Dengan kata lain, nikmat yang kita rasakan saat ini belum ada apa-apanya dibanding dengan ridha Allah kepada kita. Hal ini sebagaimana disebut dalam surat At-Taubah ayat 72, “Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”.

Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman kepada penghuni surga: Hai penghuni surga! Mereka menjawab: Kami penuhi seruan-Mu wahai Tuhan kami, dan segala kebaikan ada di sisi-Mu. Allah melanjutkan: Apakah kalian sudah merasa puas? Mereka menjawab: Kami telah merasa puas wahai Tuhan kami, karena Engkau telah memberikan kami sesuatu yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu. Allah bertanya lagi: Maukah kalian Aku berikan yang lebih baik lagi dari itu? Mereka menjawab: Wahai Tuhan kami, apa yang lebih baik dari itu? Allah menjawab: Akan Aku limpahkan keridaan-Ku atas kalian sehingga setelah itu Aku tidak akan murka kepada kalian untuk selamanya. (HR. Muslim)

Bagaimana Cara Mencapai Ridha?

Kita tidak pernah bisa memastikan apakah amalan yang kita lakukan telah sesuai dengan keridhaan Allah. Kita hanya bisa berusaha sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya. Namun demikian, bukan berarti bahwa keridhaan Allah itu sesuatu hal yang tidak bisa dicapai. Usaha kita mencapai keridhaan Allah bukanlah mencari kepastian, tapi merupakan suatu proses yang berkesinambungan tanpa berkesudahan. Ada dua cara untuk menjalani proses tersebut sebagai upaya mencapai keridhaan Allah.

Pertama, mengerjakan hal-hal yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an dan hadits sebagai sesuatu yang mendatangkan keridhaan Allah. Ada beberapa petunjuk yang bisa kita ikuti dalam Al-Qur’an dan hadits, di antaranya:

    Takut kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 8 yang berarti, “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” Takut kepada Allah ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengetahui dan merasakan kehadiran Tuhan. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28).
    Taqwa kepada Allah. Manusia memang diberi sifat untuk mencintai hal-hal yang menyenangkan di dunia sebagaimana ada di dalam surah Ali Imran ayat 14 yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Namun demikian ada yang lebih baik dari itu semua dan hanya diberikan kepada orang yang bertaqwa, “Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS. Ali Imran: 15). Ayat berikutnya (QS. Ali Imran 16-17) menyebut sebagian ciri taqwa, yaitu: memohon ampunan Allah, sabar, benar, taat, dan menafkahkah hartanya.
    Beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah merupakan sikap dan perbuatan yang mendatangkan keridhaan Allah, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal” (At-Taubah: 20-21)
    Berbakti pada orang tua, “Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orangtua, dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orangtua” (HR. Al-Hakim).

Tentu ini hanya disebutkan sebagian saja tentang hal-hal apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Secara umum bisa dikatakan bahwa seluruh perbuatan kita bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan keridhaan Allah, jika didasarkan pada niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Dengan kata lain, kita harus membuang jauh-jauh perbuatan yang diniatkan untuk meraih keridhaan selain Allah. Sebagaimana dalam satu hadits disebutkan

“Barangsiapa membuat Allah murka untuk meraih keridhaan manusia, maka Allah murka kepadanya, dan menjadikan orang yang semula meridhainya menjadi murka kepadanya. Namun barangsiapa membuat Allah ridha, meskipun mengundang kemurkaan manusia, maka Allah akan meridhainya, dan membuat orang yang murka menjadi meridhainya, sehingga Allah memperindahnya, memperindah ucapannya dan perbuatannya dalam pandangan-Nya” (HR. Ath-Thabrani)

Proses kedua yang bisa dilakukan adalah mengupayakan diri kita sendiri mencapai ridha, yaitu sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah. Dalam tradisi sufi, proses untuk mencapai sikap ridha ini dilalui dengan beberapa tahapan atau disebut denganmaqamat. Al-Qusyairi menyebut dalam risalahnya beberapa tahapan, yaitu: taubat, wara, zuhud, tawakkal, sabar, dan ridha. Al-Ghazali dalam  Ihya Ulumuddin menyatakan hal serupa dengan membuat sistematika maqamat yang dimulai dari taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat dan ridha. Tokoh-tokoh lain seperi Al-Thusi, Al-Kalabadhi, Ibnu Arabi, dan Ibnu Athaillah juga menyebut ridha sebagai salah satu maqam penting yang harus dilalui seorang sufi.

Siapa pun bisa mencapai maqam ini jika dilakukan secara sungguh-sungguh melalui latihan-latihan spiritual (riyadhah nafsiyah) yang diawali dengan kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit hati dengan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah. Ada juga yang berpendapat, seperti Ibnu Atha’illah, bahwa sesungguhnya suatu maqam dicapai bukan hanya karena usaha dari seseorang, melainkan semata anugerah Allah SWT. Namun demikian, anugerah Allah ini diberikan kepada mereka yang bersungguh-sungguh untuk mencapai ridhaNya.

Al-Ghazali melihat bahwa proses mencapai ridha ini harus dilalui dengan beberapa tahapan (maqamat). Sehingga setiap maqam merupakan buah dari maqam yang diperoleh sebelumnya. Dalam hal ini, maqam ridha, menurut Al-Ghazali merupakan buah dari mahabbah dan ma’rifatsehingga hati seseorang rela menerima apa saja dan hatinya senantiasa dalam keadaan sibuk mengingat Allah. Dengan demikian, setiap maqam tidak lain adalah sebuah perjalanan spiritual yang membawa kita untuk mengalami setiap tahapan demi tahapan mencapai keridhaan Allah.

Ridha = Bahagia

Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT – dengan keadilan dan ilmuNya – menjadikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada yakin dan ridha; serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada kegalauan, kekesalan, dan kemurkaan.”

Dalam beragam studi tentang kebahagiaan dilakukan penelitian untuk menguji dampak kepemilikan (possession) dan pengalaman (experience) terhadap seseorang. Hasilnya lagi-lagi menegaskan kebijakan pengetahuan agama dan spiritual. Kepemilikan terhadap sesuatu ternyata hanya memberi sensasi kebahagiaan sesaat. Oleh karena itu kenapa orang terkena penyakit shopaholics(gila belanja) karena ingin terus merasakan kegembiraan sesaat yang hilang setelah belanja. Berbeda dengan “pengalaman” yang memberikan dampak lebih permanen terhadap kebahagiaan seseorang. Beragam riset membuktikan bahwa merajut pengalaman penuh makna dalam keseharian adalah salah satu melentingkan kebahagiaan seseorang. Pengalaman yang bermakna ini bisa meliputi segala hal yang terjadi dalam hidupnya dan disikapi dengan penuh ridha.

Hal inilah yang pernah dilakukan oleh sahabat Shuhaib bin Sinan ketika melakukan hijrah, meninggalkan semua hartanya dengan niat penuh ikhlas untuk mencapai keridhaan Allah. Hatinya pun ridha terhadap apa yang sedang dan akan terjadi pada dirinya. Sebagian tafsir mengenai ayat yang disebut di awal tulisan, menyebut tindakan yang dilakukan oleh Shuhaib ini adalah bentuk pengorbanan diri semata-mata karena berharap ridha Allah. Pengalaman semacam inilah yang mengundang kebahagiaan lebih permanen dalam kehidupan seseorang. Dengan ridha, hilanglah segala ketidaksenangan dari hatinya, sehingga yang tersisa hanyalah kegembiraan dan kesenangan dalam hatinya.

“Allahumma innaa nas’aluka ridhaaka wal jannata, wa na’udzubika min sakhatika wan naar!”

(sumber: ruangingatanku.wordpress.com)

Monday, August 26, 2013

Menggapai Ridlo Ilahi

Jika engkau berpisah dengan hari esok, maka tak akan bisa berjumpa kembali. Dan hari ini, tak dapat kau cari di esok hari. Semakin lama, hitungan harimu memang semakin banyak. Tapi pada hakikatnya, setiap hari berkurang terus dan semakin mendekati batas akhir, kematian.

Dalam hadits Bukhari, diterangkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw menepuk pundak ibnu umar seraya berkata,”ketika engkau berada di sore hari, jangan menanti datangnya pagi. Ketika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu datangnya petang. Manfaatkanlah sehatmu untuk sakitmu dan pergunakan hidupmu untuk matimu .



Yang harus kita lakukan adalah menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah jangan banyak meminta, baik permohonan yang berkenaan dengan rezeki (dunia) maupun berkenaan dengan urusan akherat. Diminta atau tidak, jika Allah menghendaki pastilah terjadi.

Setiap nafas yang berhembus darimu, disitulah takdir Allah berlaku kepadamu.

Jika aku mau tegak berdiri dan berikhtiar maka Allah maha bijaksana dalam menentukan takdirnya kepadaku.

Cermin hati yang terwujud dalam gerak-gerik dan lahiriahmu, maka itulah yang disebut aura. Karena itu engkau mampu membentuk hatimu menjadi jernih, pikiranmu menjadi bersih, setiap langkah yang kau jejakkan dimuka bumi ini niscaya baik. Hidupmu akan bermanfaat bagi sesama

Diantara tanda-tanda matinya hati adalah tidak adanya kesedihan setelah terlewatkan kesempatan beramal taat, dan tidak ada penyesalan terhadap suatu pelanggaran yang engkau lakukan

Sebagian ulama berpendapat bahwa matinya hati itu disebabkan tiga sifat, yaitu cinta kepada dunia secara berlebihan, ceroboh dan kurang berzikir, serta menuruti hawa nafsu.

Nabi bersabda,”Dunia ini perjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir"

Ali bin Abi Thalib ra, “Perumpamaan dunia seperti ular yang lunak ketika disentuh, sedangkan racunnya mematikan.”

Carialah sesuatu yan bermanfaat di dunia ini. Adapun yang bermanfaat adalah ilmu dan amal.”

Ada dua nikmat yang tak satupun makhluk terlepas darinya, dan setiap yang wujud itu itu terjadi dari keduanya, yaitu imjad dan nikmat imdad.
Imjad adalah kenikmatan yang disebabkan oleh terwujudnya benda-benda atau sesuatu yang pada mulanya tidak ada menjadi ada.
Imdad adalah kenikmatan yang disebabkan oleh tetap adanya sesuatu yang sudah ada sehingga menjadi lebih sempurna.



Pertolongan Allah ada 2 macam:

1. Pertolongan jasmani
Dimana kita terpenuhi kebutuhan jasmanimu, pertolongan ini diberikan kepada semua makhluk yang melata dimuka bumi.

“Dan tidak ada satu binatang melatapun di muka bumi melainkan Allah jua yang memberi rezekinya, dan ia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat menyimpan rezekinya. Dari semua itu terdapat dalam kitab yang nyata.” QS. Hud 6

2. Pertolongan rohani
Adalah berupa ilmu dan iman yang tertanam di dalam hati

Nabi Nuh selama ratusan tahun berdakwah namun pengikutnya 70-80 orang saja
Pondasi kita adalah keimanan, janganlah terlalu mengharapkan yang manis saja dalam hidup ini karena sering kali yang manis itu membuat sakit perut, dan jangan pula takut terhadap yang pahit karena siapa tahu dalam pahit itu mengandung obat yang manjur.

Jangan menuntut terhadap Allah karena keterlambatan terkabulnya permohonanmu, namun tuntutlah dirimu sendiri yang kurang sopan.

Tanda ikhlas itu ada 3 yaitu,
pertama ialah pujian dan celaan orang sama saja bagi dirinya.
Kedua tidak riya dalam beramal taat ketika ia sedang melaksanakan amal itu.
Ketiga, amal itu dilakukan hanya mengharap pahala akherat.


(sumber: www.sarkub.com)

Thursday, August 15, 2013

Mengharap Ridho Allah swt

Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS At Taubah : 59)

         Segala puji bagi Allah sesung-guhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa,  Maha  Suci  Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. Semoga shalawat dan salam  kepada nabi  Muhammad Saw, juga kepada seluruh keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya

         Perkataan “ridha” sangat melekat pada diri setiap muslim baik dalam  lisan maupun dalam pengamalan. Begitu melekatnya perkataan ridha tidak  dapat  ditinggalkan  dalam   pidato bahkan dalam berbagai  macam naskah tertulis termasuk di dalam surat undangan yang biasa-ya dimulai. Dengan memohon rahmat dan mengharap ridho Allah Swt, kami bermaksud...... 


          Mengharap ridha Allah adalah desah dzikir setiap orang muslim. Ridha Allah  adalah pakaian seorang mukmin yang melekat pada tubuhnya dalam kondisi apapun yang menimpa pada dirinya. Sehingga  Rasulullah Saw pernah  mengajarkan satu doa pendek kepada sahabatnya. Allahumma inni a’uudzubika biridhooka min sakhatik. (Ya Alllah, sesungguhnya aku berlindung kepada Ridha-Mu dari murkaMu).

            Para ulama banyak membahas tentang ridha, apakah masuk katagori sunnah   atau wajib. Syaikhul Islam Ibnu Taimuyah rahimullah mengambil kesimpulan, bahwa hukum pokok ridha kepada taqdir adalah wajib, sebab orang yang tidak punya rasa ridha kepada Allah, agama dan syariat, dan hukum-hukumnya, maka dia sudah jelas dia bukan seorang muslim. Sedangkan kedudukannya yang tinggi adalah sunnah, yaitu termasuk amalan orang–orang didekatkan kepada Allah.

                 Untuk memantapkan diri sekaligus mengharapkan ridha Allah Swt, Rasulullah Saw sangat  menganjurkan untuk berdzikir, di dalam sebuah hadits dari Abu Salmah r.a khadim Nabi saw, marfu’, sesungguhnya ia berkata., “ Rasulullah Saw bersabda,” Barangsiapa membaca pada waktu pagi dan pada sore hari,   Radhitu billahirabba), wa bil islami dina(n) wa Muhammadin nabiyyaw wa rasulaa(n). (Aku ridha Allah sebagai Rab ku, dan Islam sebagai  agama-ku,  dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku) wajiblah Allah meridhai dia (HR Abu Dawud, Turmuzi, Nasai dan al Hakim)

            Zikir ini adalah pernyataan sikap setiap muslim, perlu direnungkan dan diwujudkan. Renungan yang dapat diperpanjang seakan-akan la-utan tidak bertepi dan diwujudkan dalam amal setiap denjut jantung dn setiap hirupan nafas sampai nafas yang terakhir. Mari kita coba merenungan dalam kolom yang singkat  ini.

                 Ridha Allah mengandung arti ridha mencintaiNya semata, ridha menyembahnya semata, takut dan berharap kepadanya, merendahkan diri kepadanya, beriman kepada pengaturan dan menyukainya, bertawakkal dan meminta pertolongan kepadaNya, dan ridha kepada apa yang telah diperbuatnya, maka inilah yang dimaksud dengan ridha kepada Allah. Hal ini sesui dengan firman Allah Swt. “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, “ (Qs At Taubah :59)

               Ridha dengan Islam sebagai agama artinya apa saja yang di dalam Islam, baik berupa hukum perintah dan larangan, maka sesungguhnya kita meridhainya se-cara kseluruhan, tanpa ada rasa rasa keberatan barang sedikitpun dalam diri kita untuk menerimanya, melainkan kita pasrah mene-rima nya dengan hal tersebut de-ngan lengkap. Kita tetap tegar dengan prinsip ini meskipun harus bertentangan dengan kesenangan pribadi, meskipun sebagian besar manusia menyalahinya, meskipun kita dalam pengembaraan, dan mes-kipun kita banyak musuh karenanya.

                 Ridha kepada nabi Muhammad Saw sebagai nabi artinya kita harus beriman kepadanya, patuh kepadaNya, dan pasrah kepadanya, dan hendaknya beliau Saw harus kita  pentingkan daripada diri anda sendiri. Untuk itu seandainya beliau Saw masih ada, kemudian ada sebuah anak panah yang melesat mengarah padanya, kita wajib melindunginya meskipun mengorbankan nyawa kita sendiri. Kita rela mati membelanya. kita ridha dengan tuntunan dan sunnahnya. Jika ridha kepada sun-nahnya, berarti kita tidak mau me-rujuk kepada siapapun, kecuali hanya kepadanya dan tidak pula meminta keputusan hukum, kecuali hanya kepadanya.

                    Ridha kepada Allah, ridha kepada Islam dan ridha kepada Nabi Muhammad merupakan satu kesatu-an yang utuh. Tidaklah mungkin ridha kepada Allah tetapi tidak berislam dan bernabikan Muhammad seperti laiknya orang Nasrani. Begitu juga ridha dengan Islam tetapi tidak patuh Allah dan mengangkat nabi lain seperti kaum Ahmadiyah. Tidaklah mungkin ridha kepada Rasulullah tetapi masih meragukan perintah dan larangan Allah swt yang termuat di dalam Al Qur’an seperti pemahaman agama dilingkungan Intelektual yang tergabung Jaring-an Islam Liberal.

  Buah Ridha.

 Buah ridha itu cukup banyak  dan yang terpenting adalah :

1.      Ridha, gembira dan senang ke-pada Allah Swt seperti yang di-lakukan oleh nabi Saw bahwa be-liau adalah orang yang paling ri-dha, paling gembira dan paling se-nang dengan Tuhannya.

2.      Ridha akan menyelamatkan se-orang hamba dari kegundahan ke-cemasan, kesedihan, kekacauan hati, tertutupnya mata hati.

3.      Ridha akan membebaskan se-orang hamba dari dari sikap me-nentang Tuhannya dan semua pe-rintah, hukum dan keputusannya.

4.      Ridha sangat berguna sekali bagi seseorang hingga akan mem-buatnya tidak pernah putus asa terhadap keinginan yang luput darinya.

5.      Ridha membuat sesorang tidak pernah meragukan ketetapan Allah, takdir, hukum dan ilmu Nya, se-hingga akan membuatnya pasrah kepada Nya.

6.      Ridha dapat memusatkan dan menjernihkan hati sehingga pela-kunya dapat memanfaatkannya untuk beribadah lebih khusyu’.

Wallahu ‘alam bi shawwab

Sumber : Silsilah Amalan HatiMuhammad bin Shalih Al Munajjid

Perkataan “ridha” sangat melekat pada diri setiap muslim baik dalam  lisan maupun dalam pengamalan. Begitu melekatnya perkataan ridha tidak  dapat  ditinggalkan  dalam   pidato bahkan dalam berbagai  macam naskah tertulis termasuk di dalam surat undangan yang biasa-ya dimulai. Dengan memohon rahmat dan mengharap ridho Allah Swt, kami bermaksud...... 


Mengharap ridha Allah adalah desah dzikir setiap orang muslim. Ridha Allah  adalah pakaian seorang mukmin yang melekat pada tubuhnya dalam kondisi apapun yang menimpa pada dirinya. Sehingga  Rasulullah Saw pernah  mengajarkan satu doa pendek kepada sahabatnya. Allahumma inni a’uudzubika biridhooka min sakhatik. (Ya Alllah, sesungguhnya aku berlindung kepada Ridha-Mu dari murkaMu).

Para ulama banyak membahas tentang ridha, apakah masuk katagori sunnah   atau wajib. Syaikhul Islam Ibnu Taimuyah rahimullah mengambil kesimpulan, bahwa hukum pokok ridha kepada taqdir adalah wajib, sebab orang yang tidak punya rasa ridha kepada Allah, agama dan syariat, dan hukum-hukumnya, maka dia sudah jelas dia bukan seorang muslim. Sedangkan kedudukannya yang tinggi adalah sunnah, yaitu termasuk amalan orang–orang didekatkan kepada Allah.


Untuk memantapkan diri sekaligus mengharapkan ridha Allah Swt, Rasulullah Saw sangat  menganjurkan untuk berdzikir, di dalam sebuah hadits dari Abu Salmah r.a khadim Nabi saw, marfu’, sesungguhnya ia berkata., “ Rasulullah Saw bersabda,” Barangsiapa membaca pada waktu pagi dan pada sore hari,   Radhitu billahirabba), wa bil islami dina(n) wa Muhammadin nabiyyaw wa rasulaa(n). (Aku ridha Allah sebagai Rab ku, dan Islam sebagai  agama-ku,  dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku) wajiblah Allah meridhai dia (HR Abu Dawud, Turmuzi, Nasai dan al Hakim)

Zikir ini adalah pernyataan sikap setiap muslim, perlu direnungkan dan diwujudkan. Renungan yang dapat diperpanjang seakan-akan la-utan tidak bertepi dan diwujudkan dalam amal setiap denjut jantung dn setiap hirupan nafas sampai nafas yang terakhir. Mari kita coba merenungan dalam kolom yang singkat  ini.


Ridha Allah mengandung arti ridha mencintaiNya semata, ridha menyembahnya semata, takut dan berharap kepadanya, merendahkan diri kepadanya, beriman kepada pengaturan dan menyukainya, bertawakkal dan meminta pertolongan kepadaNya, dan ridha kepada apa yang telah diperbuatnya, maka inilah yang dimaksud dengan ridha kepada Allah. Hal ini sesui dengan firman Allah Swt. “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, “ (Qs At Taubah :59)

Ridha dengan Islam sebagai agama artinya apa saja yang di dalam Islam, baik berupa hukum perintah dan larangan, maka sesungguhnya kita meridhainya se-cara kseluruhan, tanpa ada rasa rasa keberatan barang sedikitpun dalam diri kita untuk menerimanya, melainkan kita pasrah mene-rima nya dengan hal tersebut de-ngan lengkap. Kita tetap tegar dengan prinsip ini meskipun harus bertentangan dengan kesenangan pribadi, meskipun sebagian besar manusia menyalahinya, meskipun kita dalam pengembaraan, dan mes-kipun kita banyak musuh karenanya.

Ridha kepada nabi Muhammad Saw sebagai nabi artinya kita harus beriman kepadanya, patuh kepadaNya, dan pasrah kepadanya, dan hendaknya beliau Saw harus kita  pentingkan daripada diri anda sendiri. Untuk itu seandainya beliau Saw masih ada, kemudian ada sebuah anak panah yang melesat mengarah padanya, kita wajib melindunginya meskipun mengorbankan nyawa kita sendiri. Kita rela mati membelanya. kita ridha dengan tuntunan dan sunnahnya. Jika ridha kepada sun-nahnya, berarti kita tidak mau me-rujuk kepada siapapun, kecuali hanya kepadanya dan tidak pula meminta keputusan hukum, kecuali hanya kepadanya.


Ridha kepada Allah, ridha kepada Islam dan ridha kepada Nabi Muhammad merupakan satu kesatu-an yang utuh. Tidaklah mungkin ridha kepada Allah tetapi tidak berislam dan bernabikan Muhammad seperti laiknya orang Nasrani. Begitu juga ridha dengan Islam tetapi tidak patuh Allah dan mengangkat nabi lain seperti kaum Ahmadiyah. Tidaklah mungkin ridha kepada Rasulullah tetapi masih meragukan perintah dan larangan Allah swt yang termuat di dalam Al Qur’an seperti pemahaman agama dilingkungan Intelektual yang tergabung Jaring-an Islam Liberal.



Buah Ridha.



Buah ridha itu cukup banyak  dan yang terpenting adalah :

1.      Ridha, gembira dan senang ke-pada Allah Swt seperti yang di-lakukan oleh nabi Saw bahwa be-liau adalah orang yang paling ri-dha, paling gembira dan paling se-nang dengan Tuhannya.

2.      Ridha akan menyelamatkan se-orang hamba dari kegundahan ke-cemasan, kesedihan, kekacauan hati, tertutupnya mata hati.

3.      Ridha akan membebaskan se-orang hamba dari dari sikap me-nentang Tuhannya dan semua pe-rintah, hukum dan keputusannya.

4.      Ridha sangat berguna sekali bagi seseorang hingga akan mem-buatnya tidak pernah putus asa terhadap keinginan yang luput darinya.

5.      Ridha membuat sesorang tidak pernah meragukan ketetapan Allah, takdir, hukum dan ilmu Nya, se-hingga akan membuatnya pasrah kepada Nya.

6.      Ridha dapat memusatkan dan menjernihkan hati sehingga pela-kunya dapat memanfaatkannya untuk beribadah lebih khusyu’.


Wallahu ‘alam bi shawwab

Monday, December 17, 2012

Ridho Allah

Ridho Allah adalah dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh manusia.Tanpa ridho Allah,hidup kita akan hampa,kering,tidak dapat merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita,bermacam masalah silih berganti menyertai hidup kita.Harta berlimpah,makanan berlebih namun ketika tidak ada ridhoNya,semua menjadi hambar. Tidak tahu kemana tujuan hidup,merasa bosan dengan keadaan, seolah hari berlalu begitu saja,begitu cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan hari demi hari. Sehingga merasa mengapa hidup hanya begini-begini saja?



Apa sebenarnya ridho Allah? Mari simak ayat Al-Quran yang membahas hal tsb.
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat,juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalananan.Itulah yang lebih baik bagi orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [Ar-Rum : 38]

Dalam bahasa arabnya ridho Allah ternyata dilafashkan dengan wajhaAllah atau wajah Allah.Sering kita dengar perumpamaan ‘ih orang itu cari muka [wajah]‘ maksudnya cari perhatian. Demikian pula jika kita mencari wajah Allah atau perhatian Allah atau yang lebih populer ridhoNya maka pasti ada yang mesti kita lakukan. Apa? telah dijelaskan pada ayat di atas,yaitu memberikan haknya kerabat dekat,hak orang miskin,hak orang yang sedang dalam perjalanan. Itulah sebagian cara yang ditunjukkan Allah pada kita untuk mendapatkan ridhoNya disamping kita wajib selalu bertaqwa padaNya,istiqomah dalam ibadah,dan masih banyak lagi yang bisa mengundang RahmatNya bukan justru mendatangkankan murkaNya.

Memberikan hak orang yang dimaksud Allah bukan hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan harta namun bisa dilakukan oleh orang yang sadar dan ikhlas bahwa letak ketentraman hidup itu ada pada restu,ridho dan rahmat Allah.Boleh jadi rezeki yang Allah berikan pada kita hanya pas untuk makan sehari hari dan biaya hidup keluarga,namun ketika Allah telah berkenan memberi ridhoNya,rezeki yang pas itu menjadi berkah…keluarga sakinah,hati tentram,keluarga sehat wal afiat,tidak diberikan penyakit yang menguras rezeki kita,diberi keringanan beribadah,baik sholat,zakat,sedekah,sehingga hari hari yang dilalui dalam hidup penuh dengan rasa syukur.

Sekarang mari kita koreksi diri bersama,
- sudahkah kita memberikan haknya kerabat dekat?
- sudahkah kita memberikan haknya orang miskin?
- sudahkah kita memberikan haknya orang yang dalam perjalanan?
- sudahkan kita bertaqwa berada di jalan lurusNya?
- sudahkah kita istiqomah dalam ibadah? mewujudkan rukun Islam dalam kehidupan sehari-hari?
- sudahkah kita meniatkan setiap yang kita lakukan untuk mencari ridhoNya?

Atau kita justru serakah,menggenggam erat harta yang Allah titipkan sehingga harta yang seharusnya bisa digunakan untuk ibadah malah menghantarkan kita ke pintu Neraka..

Setelah kita mendapat jawabannya..tentunya kita pun tahu,sudahkah kita dapatkan ridhoNya dalam hidup kita? Kita memang tidak dapat melihat wujud ridlo itu dengan mata kepala akan tetapi insyaAllah akan bisa dirasakan oleh hati,ketika kita berjuang untuk mendapatkannya dengan senantiasa menjauhi laranganNya,memahami,mengamalkan dan mengajarkan perintahNya.
Waallahua’llam bishawab.

(sumber:bening1.wordpress.com)